PIHAK PEMILIK REKAM MEDIS

PIHAK PEMILIK REKAM MEDIS

Tentang kepemilikan rekam medis dalam peraturan pelaksanaan rekam medis adalah milik rumah sakit, dan isi rekam medis merupakan milik pasien sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 47 dan di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis Pasal 12.

Pasal 47 ayat (1) berbunyi:

“Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud pasal 46 merupakan milik dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan milik pasien”.

Pasal 47 ayat (2) berbunyi:

“Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan”

Pasal 12 Permenkes No. 269/MENKES/PER/III/2008 menyatakan bahwa berkas rekam medis merupakan milik dari sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi dari rekam medis itu sendiri merupakan milik dari pasien yang dimana isi dari rekam medis tersebut dalam bentuk ringkasan rekam medis, bukan dalam bentuk rekam medis secara lengkap dan utuh.

Maka jika dikaji lebih dalam, rumah sakit memiliki hak yang lebih besar terhadap penggunaan rekam medis karena manfaatnya akan lebih besar bila ada di rumah sakit dari pada bila rekam medis itu ada di tangan pasien. Jadi secara fisik material, dinyatakan rekam medis harus berada di dokter atau sarana pelayanan kesehatan, tetapi isi (yang tercatat atau tertulis) yang berhubungan dengan permasalahan kesehatan pasien mulai dari identitas, anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang samapi pasien pulang adalah milik pasien. Untuk memberikan kepuasan dan memenuhi hak pasien akan isi rekam medis, maka hak pasien itu diberikan dalam bentuk sebuah kesimpulan yang disebit ringkasan rekam medis/atau resume medis. Karena jika diberikan seluruhnya catatan dari awal sampai akhir maka tidak terlalu banyak berguna bagi pasien seandainya bila pasien dirujuk pun ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi, maka bukanlah rekam medis keseluruhan yang diberikan melainkan hanya resume medis atau ringkasan rekam medis.[1]

Bila dokter telah membuat resume akhir, catatan inilah yang perlu disampaikan oleh dokter untuk dokter yang akan melanjutkan pengobatan, atau untuk kepentingan lain oleh pasien. Semua kebijaksanaan tadi haruslah terlebih dahulu atas persetujuan dokter yang merawat apsien dan direktur rumah sakit. Salah sekali jika dokter menyerahkan rekam medis yang asli kepada pasien.[2]

Pasien rawat inap di rumah sakit, rekam medisnya wajib disimpan sekurang-kurangnya untuk jangka waktu 5 tahun terhitung dari tanggal terakhir parien berobat atau pasien dipulangkan. Rekam medis dapat dimusnahkan setelah lewat masa 5 tahun, kecuali resume pulang dan persetujuan tindakan medis. Ringkasan pulang dan persetujuan medis ini dapat dimusnahkan 10 tahun sejak tanggal pembuatan. Sedangkan rekam medis pada sarana pelayanan kesehatan non rumah sakit wajib disimpan sekurang-kurangnya 2 tahun, sejak pasien terakhir berobat.[3]

Pimpinan sarana pelayanan kesehatan kesehatan bertanggung jawab atas hilang, rusak, pemalsuan, dan/atau penggunaan oleh orang atau badan yang tidak berhak terhadap rekam medis. Karena itu rekam medis disimpan dalam batas waktu tertentu, pemberian izin untuk penelitian dan untuk pemeriksaan di pengadilan untuk kepentingan penegakkan hukum.[4]

Tidak selamanya rahasia jabatan atau kedokteran yang ada di rekam medis harus dijaga. Ada beberapa kondisi yang mana pihak dokter atau pihak rumah sakit boleh membukanya, yaitu:[5]

  1. untuk kepentingan kesehatan pasien;
  2. memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum atas perintah pengadilan;
  3. permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri;
  4. permintaan institusi atau lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan;
  5. untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien.

Rekam medik pada harkatnya merupakan dokumen yang isinya mampu dijadikan pertimbangan dalam proses kasus perkara baik pidana maupun perdata; dapat dijadikan dasar untuk mengabulkan atau menolak gugatan. Dengan meningkatnya kasus-kasus yang dihadapi oleh profesi medik, maka kondisi ini telah memperluas yurisdiksi pengadilan; peradilan tidak hanya dihadapkan pada putusan yang menjadi tumpuan para pihak yang bersengketa, tetapi juga dalam negosiasi maupun perdamaian dalam hal sengketa medik.[6]

[1] Munandar wahyudin suganda, Hukum Kedokteran, (Bandung: Alfabeta, 2017) Hlm. 95

[2] M. Jususf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Jakarta: Buku Kedokteran EGC, 2012) Hlm. 70.

[3] Permenkes 269/MENKES/PER/III/2008

[4] Sri Siswati, Etika dan Hukum Kesehatan Dalam Persfektif Undang-Undang Kesehatan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015) Hlm. 116

[5] Desriza Ratman “Aspek Hukum Informed Consent dan Rekam Medis Dalam Transaksi Terapeutik, (Bandung: Keni Media, 2013) Hlm. 85-90

[6] Moh. Hatta, Hukum Kesehatan dan Sengketa Medik, (Yogyakarta: Liberty, 2013) Hlm. 163