Kedudukan Anak Angkat terhadap Harta Warisan Orang Tua Angkat Perspektif Hukum Adat

Kedudukan Anak Angkat terhadap Harta Warisan Orang Tua Angkat Perspektif Hukum Adat

Kedudukan anak angkat terhadap harta warisan orang tua angkat disetiap daerah tidaklah sama. Di dalam masyarakat hukum yang sifat susunan kekeluargaan Parental seperti di Jawa Tengah dan di Jawa Barat dan didalam masyarakat hukum yang sifat susunan kekeluargaanya Patriarchaat seperti di Pulau Bali kedudukan anak angkat adalah berbeda.(Efendi Perangin, 1997)

Di Pulau Bali perbuatan mengangkat anak merupakan perbuatan hukum yang melepaskan anak itu dari pertalian keluarga dengan orang tuanya sendiri serta memasukkan anak tersebut kedalam keluarga bapak angkatnya sehingga selanjutnya anak tersebut berkedudukan sebagai anak kandung untuk meneruskan turunan bapak angkatnya.

Di Jawa (Timur, Tengah, Barat) perbuatan mengangkat anak itu hanyalah memasukkan anak itu ke kehidupan rumah tangga, orangtua yang mengangkatnya tetapi tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak itu dengan orangtuanya sendiri. Jadi anak angkat didaerah ini tidak mempunyai kedudukan sebagai anak kandung serta tidak diambil dengan maksud untuk meneruskan turunan orangtua angkatnya.

Khusus di Jawa dan umumnya di daerah-daerah  yang mengenai anak angkat itu maka dengan perbuatan mengambil serta mengasuh anak itu sampai menjadi dewasa dalam lingkungannya lambat laun dan berkembanglah hubungan kerumah tanggaan antara orangtua angkat dan anak yang diangkat. Hubungan kerumah tanggaan ini menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara kedua belah pihak yang mempunyai konsekuensi terhadap harta kekayaan rumah tangga tersebut.

Konsekuensi yang timbul dari pengangkatan anak juga dijelaskan dalam yurisprudensi berikut:

  1. Putusan LANDrAAD Purworejo tanggal 25 Agustus 1937 barang pencarian dan barang gono gini jatuh kepada Janda dan Anak angkat sedangkan barang asal kembali pada saudara-saudara peninggal harta jikalau yang meninggal itu tidak mempunyai anak kandung. (Putusan ini dimuat dalam INDISH TIJDSCHRIFT VAN HET RECHT 148 HAL 299).
  2. Putusan RAAD VAN JUSTITIE Jakarta dahulu tanggal 24 Mei 1940 menurut hukum adat Jawa Barat anak angkat berhak atas barang-barang gono gini orangtua angkat yang telah meninggal jikalau tidak ada anak kandung atau turunan seterusnya. (Putusan ini dimuat dalam INDISCH TIJDSCHIFT VAN HET RECHT 153 hal 140).(Tolib Setiadi, 2008)

Dalam kedua Yurisprudensi tersebut diatas tampak dengan jelas digambarkan kedudukan anak angkat sebagai anggota rumah tangga sedangkan ia bukan waris. Anak angkat berhak mendapatkan nafkah dari harta peninggalan orangtua angkatnya.

Prof.Bertling menulis tentang kedudukan anak angkat ini sebagai berikut.

bahwa anak angkat adalah bukan waris terhadap barang-barang asal orang tua angkatnya melainkan ia mendapatkan keuntungan sebagai anggota rumah tangga juga setelah orang tua angkatnya meninggal dunia”.

Kemudian seterusnya beliau mengatakan:

“bahwa kalau barang-barang gono gini tidak mencukupi , pada pembagian harta peninggalan nanti anak angkat dapat minta bagian dari barang asal orang tua angkatnya yang tidak mempunyai anak kandung”.

Pendapat Prof. Bertling ini adalah sesuai dengan putusan RAAD VAN JUSTITIE Jakarta dahulu tanggal 26 Mei 1939 termuat dalam INDISCH TIJDSCHRIFT VAN HET RECHT 151 hal 193, hanya RAAD VAN JUSTITIE keputusannya tidak menambah ketentuan “yang tidak mempunyai anak kandung”, tetapi sebaliknya keputusan RAAD VAN JUSTITIE menambah ketentuan “hingga jumlah yang menurut keadaan dianggap adil ”  .

Putusan RAAD VAN JUSTITIE ini berbunyi sebagai berikut.

Bahwa jikalau barang gono gini tidak mencukupi, pada pembagian harta peninggalan oleh warisnya orang tua angkat, anak angkat boleh minta bagian dari barang asal hingga jumlah yang menurut keadaan dianggap adil ”.

Jikalau orangtua angkat semasa hidupnya telah menghibahkan barang-barang kepada anak angkatnya sejumlah demikian hingga nafkah anak tersebut telah terjamin seperlunya, maka ia pada pembagian harta peninggalan sudah tidak berhak apa-apa lagi. (Putusan RAAD VAN JUSTITIE Jakarta 27 Oktober 1939 dalam INDISCH TIJDSCHRIFT VAN HET RECHT 153 Hal 157).(Sri Mamudji, 1981)

Tentang kedudukan hukum anak angkat ini kiranya perlu diperhatikan juga apa yang ditulis DJOJODIGOENOTIRTAWINATA dalam buku mereka “ADAT PRIVAATRECHT VAN MIDDEL JAVA”hal 303 yaitu:

“dari keterangan-keterangan dimuka tadi maka orang wajib menarik kesimpulan bahwa kedudukan anak angkat dengan anak sendiri itu sepenuhnya sama juga dalam hal menutup anggota-anggota kerabat lainnya sebagai ahli waris. Ini adalah semata-mata merupakan pengetrapan secara konsekuen daripada asas konsekuen daripada asas bahwa adopsi adalah pengangkatan orang lain sebagai anak sendiri ”.

Kedudukan hukum anak angkat seperti dikemukakan oleh Prof. DJOJODIGOENO-TIRTAWINATA diatas menurut kami baru diperoleh anak angkat apabila orang tua yang mengangkat itu memandang dan memperlakukan anak itu sebagai anak keturunan sendiri baik lahir maupun batin. Oleh karena itu maka sungguh tepatlah apa yang dianjurkan oleh DJOJODIGOENO-TIRTAWINATA pada halaman berikutnya yaitu:

“Jangan menerima begitu saja kesimpulan bahwa anak angkat seperti halnya juga dengan anak sendiri menutup kemungkinan anggota kerabat lain-lain sebagai waris sebelum hal itu nyata-nyata dicocokkan sendiri dengan keadaan di setempat”.

Menurut keputusan LAND RAAD di Malang tanggal 16 februari 1938 yang dimuat dalam INDISCH TIJDSCHRIFT VAN HET RECHT 1949 hal 264 yang menyebutkan bahwa:

“anak angkat itu wajib menghormati dan menolong orang tua angkatnya. Jikalau anak angkat sangat kurang memenuhi kewajibannya ini maka ia boleh dianggap memutuskan pertalian serta ikatan kerumahtanggaannya dengan orang tua angkatnya. Dan apabila hal ini terjadi maka penghibahan kepada anak angkat itu dapat dicabut kembali”.

Hal yang perlu diperhatikan lagi tentang anak angkat ini adalah di Jawa khususnya bahwa pertalian keluarga antara anak angkat dengan orang tua kandungnya tidak putus. Oleh karenanya anak angkat tersebut masih tetap menjadi ahli waris dari orang tuanya sendiri.(Hilma Hadikusuma, 2008)

LAND RAAD Purworejo pada tanggal 6 Oktober 1937 dimuat dalam INDISCH TIJDSCHRIFT VAN HET RECHT 148 hal 307 memutuskan:

“bahwa karena adopsi seorang anak tidak ketinggalan hak warisnya dari harta peninggalan orang tua kandungnya”.

Anak angkat menerima “air dari dua sumber air” demikian DJOJODIGOENO-TIRTAWINATA dalam ADATRECHT VAN MIDDEL JAVA hal 305.

Akhirnya perlu juga ditambahkan disini beberapa keputusan dari Mahkamah Agung RI dalam waktu akhir-akhir ini tentang anak angkat sebagai berikut.

Putusan MA RI tanggal 15 Juli 1959 Reg No.182-K/SIP/1959 menyatakan:

“bahwa anak angkat berhak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya yang tidak merupakan harta yang diwarisi oleh orang tua angkat tersebut”.

Keputusan tersebut diatas pada hakikatnya adalah hanya merupakan suatu penegasan daripada keputusan-keputusan MA yang sebelumnya dan yang berbunyi sebagai berikut.

  1. Anak Kukut (Anak angkat) tidak berhak mewarisi barang-barang pusaka, barang-barang ini kembali kepada waris keturunan darah. (Putusan tanggal 24 Mei 1958 Reg No.82 K/SIP/1957).
  2. Menurut hukum adat yang berlaku di Jateng anak angkat hanya diperkenan mewarisi harta gono gini dari orang tua angkatnya, jadi terhadap barang pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya (Putusan tanggal 18 Maret 1959 Reg No.37 K/SIP/1959).(Hilman Hadikusuma, 1993)